Pendekatan
Pembelajaran Berbasis masalah (Problem Based Learning) dan Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Konteks (Contextual Teaching and Learning)
Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Pembelajaran berdasarkan masalah telah dikenal
sejak zaman John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara
umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa
situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan
kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri
A. Pengertian Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif
untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi। Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang
sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia
sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan
dasar maupun kompleks (Ratumanan, 2002 : 123).
Menurut Arends (1997), pembelajaran berdasarkan masalah merupakan
suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang
otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan
inkuiri dan ketrampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian
dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran
yang lain, seperti “pembelajaran berdarkan proyek (project-based instruction)”,
”pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction)”, “belajar
otentik (authentic learning)” dan ”pembelajaran bermakna (anchored
instruction)”.
B. Ciri-ciri khusus Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Menurut Arends (2001 : 349) berbagai
pengembang pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu
memiliki karakteristik sebagai berikut (Krajcik, 1999; Krajcik, Blumenfeld,
Marx, & soloway, 1994; Slavin, Maden, Dolan, & Wasik, 1992, 1994;
Cognition & Technology Group at Vanderbilt, 1990).
1. Pengajuan
pertanyaan atau masalah.
Bukannya mengorganisasikan di sekitar
prisip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan
masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang
dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban
sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
2 Berfokus pada
keterkaitan antar disiplin.
Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah
mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu
sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar
dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
Sebagai contoh, masalah polusi yang dimunculkan dalam pelajaran di teluk
Chesapeake mencakup berbagai subyek akademik dan terapan mata pelajaran seperti
biologi, ekonomi, sosiologi, pariwisata, dan pemerintahan.
3. Penyelidikan
autentik.
Pembelajaran berdasarkan masalah
mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian
nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan
masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpul dan
menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat
inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan
yang digunakan, bergantung kepada masalah yang sedang dipelajari.
4. Menghasilkan
produk dan memamerkannya
Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut
siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak
dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang
mereka temukan. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat seperti pada
pelajaran ”Roots and wings”. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik,
video maupun program komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan
dijelaskan kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada
teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari dan menyediakan suatu
alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
5. Kolaborasi.
Pembelajaran berdasarkan masalah
dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering
secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi
untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak
peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan
sosial dan ketrampilan berfikir.
C. Manfaat Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pembelajaran
berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi
sebanyak-banyaknya kepada siswa। Pembelajaran
berda- sarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemam
-puan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar
berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata
atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim, 2000 :
7).
Menurut Sudjana manfaat khusus yang
diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah। Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan
bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari
buku, tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya.
D. Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Tahap-1 Orientasi siswa pada masalah
Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan,
mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah,
memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yng dipilih.
Tahap-2 Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu
siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
Tahap-3 Membimbing penyelidikan
individual maupun kelompok.
Guru mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan masalah
Tahap-4 Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya.
Guru membantu
siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya
Tahap-5 Menganalisis dan
mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Guru membantu
siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka gunakan. ( Ibrahim, 200; 13 ).
Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Konteks (Contextual Teaching and Learning)
A. Pengertian
Pendekatan Pembelajaran Berbasis Kontekstual merupakan
suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi
tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial,
dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara
fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks ke
permasalahan/konteks lainnya. Pendekatan kontektual (Contextual Teaching
and Learning) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep
itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam kelas kontektual, tugas
guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan
dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai
sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota
kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa
kata guru. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (constructivism),
bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat
belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan
penilaian sebenarnya (authentic assessment).
B. Langkah-langkah CTL
CTL dapat
diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun
keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah. Secara garis besar,
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam CTL adalah sebagai berikut.
a. Kembangkan
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar.
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
d. Ciptakan masyarakat belajar.
e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.
g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
C. Karakteristik
Pendekatan Contextual Teaching Learning
(CTL)
1)
Kerjasama.2) Saling
menunjang.3) Menyenangkan, tidak membosankan.4) Belajar dengan bergairah.5)
Pembelajaran terintegrasi.6) Menggunakan berbagai sumber.7) Siswa aktif.8)
Sharing dengan teman.9) Siswa kritis guru kreatif.10) Dinding dan lorong-lorong
penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan
lain-lain.11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya
siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain
Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh
komponen utama dari pembelajaran produktif yaitu : konstruktivisme (Constructivism),
bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat
belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi
(Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)
(Depdiknas, 2003:5).
1. Konstruktivisme (Constructivism)
Setiap individu dapat
membuat struktur kognitif atau mental berdasarkan pengalaman
mereka maka setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru, ini dikatakan
sebagai konstruktivisme (Ateec, 2000). Fungsi guru disini membantu membentuk
konsep tersebut melalui metode penemuan (self-discovery), inquiri dan
lain sebagainya, siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru.
Menurut Piaget pendekatan konstruktivisme
mengandung empat kegiatan inti, yaitu 1)Mengandung
pengalaman nyata (Experience); 2)Adanya interaksi sosial (Social
interaction); 3)Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense
making); 4)Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir
(filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang
siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan pada pernyataan tersebut,
pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima
pengetahuan (Depdiknas, 2003:6).
Sejalan dengan pemikiran Piaget mengenai
kontruksi pengetahuan dalam otak. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam
otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang
berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai berbeda-beda
oleh setiap individu. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak
yang sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat dikembangkan. Struktur
pengetahuan dalam otak manusia dikembangkan melalui dua cara yaitu asimilasi
dan akomodasi.
2. Bertanya
(Questioning)
Bertanya merupakan
strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Kegiatan
bertanya digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan
berpikir siswa sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting
dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry.
Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna
untuk :1)Menggali informasi, baik administratif maupun akademis; 2) Mengecek
pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa;3) Membangkitkan respon kepada
siswa;4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;5)Memfokuskan perhatian
siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;6)Membangkitkan lebih banyak lagi
pertanyaan dari siswa;7)Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
3. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan
bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri (Depdiknas, 2003). Menemukan
atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran didasarkan pada
pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum
proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :1) Merumuskan
masalah ;2)Mengajukan hipotesis;3)Mengumpulkan data;4) Menguji hipotesis
berdasarkan data yang ditemukan; 5)Membuat kesimpulan.
Melalui proses berpikir yang sistematis,
diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk
pembentukan kreativitas siswa.
4. Masyarakat belajar (Learning Community)
Konsep Learning Community
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.
Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar
yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen
masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman (Depdiknas,
2003).
5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan dalam pembelajaran kontekstual
merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu dan menggunakan model
yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru
memberi contoh cara mengerjakan sesuau. Dalam arti guru memberi model
tentang “bagaimana cara belajar”. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah
satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
Menurut Bandura dan Walters, tingkah laku
siswa baru dikuasai atau dipelajari mula-mula dengan mengamati dan meniru suatu
model. Model yang dapat diamati atau ditiru siswa digolongkan menjadi : 1)Kehidupan
yang nyata (real life), misalnya orang tua, guru, atau orang lain.; 2)Simbolik
(symbolic), model yang dipresentasikan secara lisan, tertulis atau
dalam bentuk gambar ; 3)Representasi (representation), model yang
dipresentasikan dengan menggunakan alat-alat audiovisual, misalnya televisi dan
radio.
6.
Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir tentang
apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah kita
lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai
struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini merupakan
pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan
respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang baru diterima
(Depdiknas, 2003).
Pada kegiatan pembelajaran, refleksi
dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu
sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :1)Pernyataan
langsung tentang apa-apa yang diperoleh pada pembelajaran yang baru saja
dilakukan.; 2)Catatan atau jurnal di buku siswa; 2)Kesan dan saran mengenai
pembelajaran yang telah dilakukan.
7.
Penilaian yang sebenarnya (Authentic
Assessment)
Penilaian autentik merupakan proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar
guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang benar.
Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang
dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat
melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik authentic assessment
menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses
belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang
diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta,
berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic
assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya
siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes
tulis dan karya tulis.
Dalam pembelajaran kontekstual, program
pembelajaran lebih merupakan rencana kegiatan kelas yang dirancang guru, yang
berisi skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama
siswanya sehubungan dengan topik yang akan dipelajarinya. Dalam program
tercermin tujuan pembelajaran, media untuk mencapai tujuan tersebut, materi
pembelajaran, langkah- langkah pembelajaran, dan authentic assessment-nya. Dalam
konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang
apa yang akan dikerjakannya bersama siswanya. Secara umum tidak ada perbedaan
mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program
pembelajaran kontekstual. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan
pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan
program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario
pembelajarannya.
Pembelajaran
kontekstual adalah terjemahan dari istilah Contextual Teaching Learning (CTL).
Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti
“hubungan, konteks, suasana, atau keadaan”. Dengan demikian contextual
diartikan ”yang berhubungan dengan suasana (konteks). Sehingga Contextual
Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran yang
berhubungan dengan suasana tertentu.
Pembelajaran kontekstual didasarkan pada
hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar
dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui
dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya.
Pengajaran kontekstual sendiri
pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan
dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen
Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah
diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji,
serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual.
Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah dengan
mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sudah
diberikan pembekalan sebelumnya.
Penyelenggaraan program ini berhasil
dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya
direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk
tingkat sekolah, pelaksanaan dari program ini memperlihatkan suatu hasil
yang signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar, dan
meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.
D. Perbedaan Pembelajaran Kontektual dan Pembelajaran
Konvensional
Pembelajaran kontekstual berbeda dengan
pembelajaran konvensional, Departemen Pendidikan Nasional (2002:5) mengemukakan
perbedaan antara pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL)
dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut:
CTL
|
Konvensional
|
Pemilihan informasi kebutuhan individu siswa;
|
Pemilihan informasi ditentukan oleh guru;
|
Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin);
|
Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu;
|
Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah
dimiliki siswa;
|
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya
diperlukan;
|
Menerapkan penilaian autentik melalui melalui penerapan praktis
dalam pemecahan masalah;
|
Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa
ujian/ulang
|
Referensi
Departemen Pendidikan Nasional.
2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Nurhadi. 2003. Pendekatan
Kontekstual. Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional.
Suherman, E. Dkk (2001). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung. JICA
Trianto, 2007. Model-Model
Pembelajaran Inovatif berorientasi Konstruktivistik. Konsep, landasan
teoritis-praktis dan implementasinya, Jakarta: Prestasi Pustaka.
http://fikriyansyah8.wordpress.com/2010/01/19/pembelajaran-berdasarkan-masalah/.
Diakses 24 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar