Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika
adalah sebuah proses pembelajaran yang menganggap pengetahuan matematika siswa
adalah serangkaian pengalaman siswa hasil bentukannya sendiri dengan
lingkungannya.
Menurut pandangan konstruktivis bahwa
pengetahuan harus diperoleh siswa melalui kegiatan atau aktivitas, baik fisik
maupun psikis. Melalui kegiatan atau aktivitas inilah siswa membangun
pengetahuannya sendiri. Guru bertindak sebatas penyedia sarana belajar atau
fasilitator, pembangkit dan pendorong minat belajar atau motivator, atau
perancang pembelajaran.
Ernest (1991:42), melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial
yang memenuhi tiga premis sebagai berikut.
1. The basis of mathematical knowledge is
linguistic language, conventions and rulers, and language is a social
constructions.
2. Interpersonal social processes are required to
turn an individual’s subjective mathematical knowledge, after publication, into
accepted objective mathematical knowledge.
3. Objectivity itself will be understood to
be social.
Pengertian di atas menekankan
bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan
sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungan. Guru yang
konstruktivis mampu dan mengerti tentang proses pembelajaran yang baik. Dalam proses pembelajaran yang baik, guru berperan
memotivasi dan memfasilitasi siswanya menemukan sendiri cara yang paling
sesuai untuk memecahkan persoalan.
Hal ini penting agar siswa memperoleh hasil yang maksimal.
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari guru ke siswa,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti
partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Menurut Driver & Oldam (Suparno, 1997) langkah pembelajaran
konstruktivisme yang dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Orientasi. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam
mempelajari suatu pokok bahasan, kemudian siswa diberi kesempatan untuk
mengadakan observasi terhadap apa yang akan dipelajari.
2. Elicitasi. Siswa dibantu mengungkapkan idenya secara jelas dengan
berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lainnya. Artinya siswa diberi
kesempatan untuk mediskusikan apa yang diobservasikan dalam bentuk tulisan,
gambar atau poster.
3. Re-strukturisasi ide.
a.
Klarifikasi
ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman melalui diskusi atau
melalui pengumpulan ide. Artinya melalui diskusi atau pengumpulan ide, siswa
merekonstruksi gagasan-gagasan yang tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih
yakin bahwa gagasan tersebut cocok.
b.
Membangun
ide yang baru.
c.
Mengevaluasi
ide barunya dengan eksperimen.
4.
Penggunaan
ide dalam banyak situasi. Pengetahuan
atau ide yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam
pada situasi yang dihadapi, agar dapat
membuat pengetahuan siswa
lebih lengkap dan
rinci dengan segala
pengecualiannya.
5.
Review,
bagaimana bila ide itu berubah. Hal ini dapat terjadi apabila dalam aplikasi
pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari
seseorang perlu merevisi.
Menurut Hanafiah (2010), pendekatan
konstruktivisme memiliki karakteristik sebagai berikut.
1. Proses pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga siswa
mempunyai peluang untuk aktif dalam proses pembelajaran.
2. Proses pembelajaran merupakan proses integrasi
pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang dimiliki siswa.
3. Berbagai pandangan yang berbeda diantara siswa dihargai
dan sebagai tradisi dalam proses pembelajaran.
4. Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan
mensintesiskan secara terintegrasi.
5. Pembelajaran berbasis masalah dalam rangka mendorong siswa
dalam proses pencarian yang lebih alami.
6. Proses pembelajaran mendorong terjadinya koperatif dan
kompetitif dikalangan siswa secara aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan.
7. Proses pembelajaran dilakukan secara kontektual, yaitu
siswa dihadapkan kedalam pengalaman nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar