
Oleh Achmad Siddik Thoha
Pohon-pohon jati itu melepaskan dedaunannya. Daun-daun kecoklatan 
terbang dan terhempas ringan di atas tanah. Lantai hutan jati terlihat 
penuh dengan daun lebar kering berwarna coklat muda yang berserakan. 
Hutan jati dalam keadaan meranggas saat itu.
Dua orang melintas pelan di hutan itu. Seorang pria dengan janggut 
panjang dan pria satunya masih sangat belia. Dua orang ini adalah murid 
dan guru yang berkelana mencari kearifan hidup.
”Guru, dua bulan lalu, kita pernah melintasi hutan jati di tempat lain. 
Waktu itu kita merasakan kesejukan dibawah naungan pepohonan jati dengan
 daun hijaunya yang segar dan bunga-bunganya yang sedang mekar. Kali 
ini, hampir tak ada daun yang melekat di ranting pepohonan ini. Apa jati
 ini harus menggugurkan daunnya setiap tahun guru?” Tanya sang murid.
” Kemarau dengan panas yang terik dan air dari langit yang tertahan, 
mengharuskan jati melewati hari harinya dengan melepas dedaunannya. 
Begitulah jati menempa dirinya muridku.” Jawab sang guru singkat.
”Bagaimana caranya jati bisa tumbuh dan berkembang tanpa daun. Bukankah 
daun sangat penting untuk menyerap matahari dan menguapkan air bagi 
tumbuhan. Mereka bisa mati kalau begitu terus, Guru?” Sang murid 
mendesak gurunya menjelaskan.
Sang guru kemudian menjawab rasa penasaran muridnya.
”Itulah hikmah yang Tuhan berikan melalui pohon jati. Meski tanpa daun, pohon jati justru sedang menempa dirinya menjadi salah satu pohon terbaik di bumi ini. Dia takkan mati. Ia bahkan sedang ”berpuasa” untuk tidak berkembang secara kasat mata. Ia sedang menempa dirinya untuk sanggup bertahan dengan ujian kekurangan air dan panasnya cuaca. Ia melewati ujian itu sambil mengugurkan masalah yang ada di daun dan memperbaiki kulitas kayu di batangnya.”
”Itulah hikmah yang Tuhan berikan melalui pohon jati. Meski tanpa daun, pohon jati justru sedang menempa dirinya menjadi salah satu pohon terbaik di bumi ini. Dia takkan mati. Ia bahkan sedang ”berpuasa” untuk tidak berkembang secara kasat mata. Ia sedang menempa dirinya untuk sanggup bertahan dengan ujian kekurangan air dan panasnya cuaca. Ia melewati ujian itu sambil mengugurkan masalah yang ada di daun dan memperbaiki kulitas kayu di batangnya.”
”Menggugurkan masalah...?Artinya daun-daun itu kalau terus ada dan 
bekerja di musim kemarau bisa mengganggu pertumbuhan pohon karena boros 
air. Nantinya bagian pohon lain seperti batang dan akar bisa terganggu 
ya, Guru?” Sang murid mencoba menganalisis penjelasan gurunya.”
”Benar sekali muridku. Sama halnya dengan tubuh kita. Pada saatnya kita 
harus mengistirahatkan anggota badan kita seperti perut untuk mengurangi
 kerjanya. Itu sangat diperlukan agar bagian lain dari diri kita 
berfungsi lebih optimal. Misalnya, saat perut beristirahat mengolah 
makanan, bagian tubuh lain khususnya pikiran dan jiwa kita bisa lebih 
optimal bekerja. Bukankah perut kita adalah salah satu sumber munculnya 
penyakit.” Sang guru mulai menjelaskan kearifan alam yang diamatinya
”Mungkin daun-daun itu bisa kita andaikan sebagai dosa-dosa kita. Saat 
kita mau berkorban untuk menahan diri dan bertahan dari ujian, Tuhan 
akan memberi kita karunia-Nya berupa bergugurannya dosa-dosa kita. Pada 
saat dosa-dosa itu berlepasan dalam diri kita, kita merasakan hidup ini 
lebih tenang dan bahagia. Bahagia itulah kualitas tertinggi yang diraih 
manusia dan sekaligus karunia dari-Nya. Kamu ingin hidup bahagia kan 
muridku? Sang guru menepuk punggung muridnya.
”Eh iya guru, pasti. Makanya kita harus segera sampai di kampung agar tenang, gak kepanasan begini Guru”
”Kamu masih puasa, kan? Jangan kalah sama pohon Jati yang puasanya lebih panjang dari kita,” canda Sang Guru
”Hahaha...” Guru dan murid tertawa. Mereka mendapatkan kearifan hidup dari bergugurannya dedaunan pohon Jati.
Semoga Bermanfaat.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar