Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivis
berarti bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme
merupakan suatu aliran yang berupaya membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang bercorak modern. Menurut Jalaludin (dikutip Riyanto. 2010:143 ), konstruktivisme berupaya membina suatu konsesus yang paling luas dan
mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
Pendekatan Konstruktivistik menurut
Suyitno (2011:7), dalam pembelajaran, siswa mendapatkan pengalaman belajarnya
sendiri dan benar-benar memahami pengalaman belajar tersebut.
Konstruktivisme adalah salah satu
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita dikonstruksi oleh kita sendiri. Dalam proses konstruksi
itu, menurut Von Glasserfeld (dikutip Suparno, 1997) diperlukan beberapa kemampuan
berikut.
v Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
v Kemampuan membandingkan, mengambil keputusan
(justifikasi) mengenai persamaan dan
perbedaan.
v Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu
daripada yang lain.
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu tidak dapat ditransmisi
langsung oleh guru ke dalam pikiran siswa, melainkan proses perubahan ini
memerlukan konstruksi aktif siswa. Menurut Driver, dan Bell ( dikutip Suparno,
1997) untuk
mengkonstruksi makna baru, siswa harus mempunyai pengalaman mengadakan kegiatan
mengamati, menebak, berbuat dan mencoba bahkan mampu menjawab pertanyaan ”mengapa”. Ahli konstruktivisme juga beranggapan
bahwa pengetahuan itu diserap oleh siswa tidak secara pasif dari lingkungan,
melainkan ilmu pengetahuan dibangun oleh siswa
secara individual. Pengetahuan tersebut dibangun oleh siswa melalui tiga aktifitas dasar yaitu keterlibatan siswa
tersebut secara aktif, refleksi, dan abstraksi.
. Piaget
yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 2006) menyimpulkan hasil
penelitiannya bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam
pikiran. Sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena
adanya informasi baru, sehingga
informasi tersebut mempunyai tempat.
Menurut Piaget, pengetahuan sosial seperti nama binatang, nama hari, nama kota,
dapat ditransfer dari pikiran guru ke pikiran siswa. Namun, pengetahuan fisik
dan pengetahuan logika-matematika tidak dapat dipindahkan secara utuh dari
pikiran guru ke pikiran siswa. Setiap siswa harus membangun sendiri
pengetahuan-pengetahuan itu melalui proses equilibrasi. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses
mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu
(Suparno,1997).
Dalam penelitian ini peneliti akan mengembangkan bahan ajar matematika
yang mengacu pada konstruktivisme psikologis personal (Piaget) dan kontruktivisme psikologis
sosial (Vygotsky). Hal ini sesuai
dengan pendapat Cobb (dikutip Suparno, 1997) yang lebih cenderung mengkombinasikan kedua pandangan
konstruktivisme psikologis personal menurut Piaget
dan konstruktivisme psikologis sosial menurut Vygotsky. Alasan peneliti karena keduanya saling melengkapi, yakni belajar
matematika dipandang baik sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan oleh
individu secara aktif maupun sebagai proses interaksi sosial yaitu anak belajar
secara kooperatif. Oleh karena itu bahan ajar menggunakan pendekatan
konstruktivisme yang dikembangkan dalam penelitian ini, anak difasilitasi untuk
belajar matematika secara individu, kemudian dilanjutkan secara kooperatif.
Prinsip dan Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Suparno (1997) mengemukakan prisip-prinsip belajar konstruktivisme,
antara lain:
v Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.
v Penekanan dalam proses belajar terletak pada siswa.
v Mengajar adalah membantu siswa belajar.
v Penekanan dalam
proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir.
v Kurikulum menekankan partisipasi siswa.
v Guru adalah fasilitator.
Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa disebut teori perkembangan intelektual atau
teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan
anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahapan perkembangan intelektual dari
lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud
dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Belajar berdasarkan konstruktivisme adalah berusaha untuk melihat dan
memperhatikan konsepsi dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru
pada pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitator. Suparno (1997) menjabarkan
beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut.
v Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa
bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
v Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang
merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana
yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa.
v Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran
siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan
siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Oleh karena itu guru konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa,
sebab perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan
kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang pengetahuan yang tidak
bisa dihindarkan.
Pembelajaran
Matematika dengan Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa
siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan
kematangan kognitif yang dimilikinya.
Ernest (1991:42), melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial
yang memenuhi tiga premis sebagai berikut :
(i) The
basis of mathematical knowledge is linguistic language, conventions and rulers,
and language is a social constructions; (ii) Interpersonal social processes are required to turn an individual’s
subjective mathematical knowledge, after publication, into accepted objective
mathematical knowledge; and (iii)
Objectivity itself will be understood to be social.
Pengertian di atas menekankan
bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan
sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungan. Guru yang konstruktivis
mampu dan mengerti tentang proses pembelajaran yang baik. Dalam proses pembelajaran yang baik, guru berperan
memotivasi dan memfasilitasi siswanya menemukan sendiri cara yang paling
sesuai untuk memecahkan persoalan.
Hal ini penting agar siswa memperoleh hasil yang maksimal.
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari guru ke siswa,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Mengajar berarti
partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Menurut Driver & Oldam (Suparno, 1997) langkah pembelajaran
konstruktivisme yang dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Orientasi. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi
dalam mempelajari suatu pokok bahasan, kemudian siswa diberi kesempatan untuk
mengadakan observasi terhadap apa yang akan dipelajari.
2. Elicitasi. Siswa dibantu mengungkapkan idenya secara jelas dengan
berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lainnya. Artinya siswa diberi
kesempatan untuk mediskusikan apa yang diobservasikan dalam bentuk tulisan,
gambar atau poster.
3. Re-strukturisasi ide.
a.
Klarifikasi
ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman melalui diskusi atau
melalui pengumpulan ide. Artinya melalui diskusi atau pengumpulan ide, siswa
merekonstruksi gagasan-gagasan yang tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih
yakin bahwa gagasan tersebut cocok.
b.
Membangun
ide yang baru.
c.
Mengevaluasi
ide barunya dengan eksperimen.
4.
Penggunaan
ide dalam banyak situasi. Pengetahuan
atau ide yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam
pada situasi yang dihadapi, agar dapat membuat pengetahuan siswa lebih lengkap
dan lebih rinci dengan segala pengecualiannya.
5.
Review,
bagaimana bila ide itu berubah. Hal ini dapat terjadi apabila dalam aplikasi
pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari seseorang perlu merevisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar