A.
PENDAHULUAN
Seiring dengan
terjadinya perubahan paradigma dalam pembelajaran, desain pembelajaran juga
mengalami perubahan orientasi. Pembelajaran yang dulu berpusat kepada guru
(teacher centred), sekarang telah berubah ke pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student centred). Aktivitas pembelajaran, yang pada masa
sebelumnya diwarnai pendekatan behaviorisme, kini mulai menggunakan pendekatan
konstruktivisme.
Pendekatan
konstruktivisme lebih menekankan pada perilaku yang dapat diamati dan dapat
diukur sebagai hasil aktivitas dan proses pembelajaran. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu tidak dapat ditransmisi
langsung oleh guru ke dalam pikiran siswa, melainkan proses perubahan yang memerlukan konstruksi aktif siswa. Menurut Driver, dan
Bell (Suparno, 1997) untuk mengkonstruksi makna baru, siswa harus mempunyai
pengalaman mengadakan kegiatan mengamati, menebak, berbuat dan mencoba bahkan
mampu menjawab pertanyaan ”mengapa”.
Ahli konstruktivisme juga beranggapan bahwa pengetahuan itu di serap oleh siswa tidak secara pasif dari
lingkungan, melainkan ilmu pengetahuan dibangun oleh siswa secara individual.
Pembangunan pengetahuan tersebut melalui tiga aktivitas dasar yaitu keterlibatan siswa tersebut secara
aktif, refleksi, dan abstraksi.
Turunan Fungsi adalah
salah satu materi matematika SMA yang diberikan di kelas sebelas. Turunan
Fungsi merupakan materi penting sebagai prasyarat untuk belajar integral di
kelas dua belas. Berdasarkan pengalaman peneliti dan beberapa guru matematika
yang lain, salah satu kesulitan mengajar materi integral adalah karena kurang
maksimalnya proses pembelajaran pada materi turunan fungsi.
Untuk itu menurut
peneliti, pembelajaran turunan fungsi dapat maksimal jika siswa difasilitasi
untuk membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini dimungkinkan karena siswa telah
mempelajari materi tentang fungsi, rumus-rumus trigonometri dan limit fungsi
yang dapat menghantarkan siswa kepada materi turunan fungsi. Dengan membangun
sendiri pengetahuannya, maka siswa akan lebih ingat, lebih paham dan
pembelajaran akan lebih bermakna.
B. PEMBAHASAN
1. Hakikat Bahan Ajar
Bahan ajar (teaching material), terdiri atas dua kata yaitu teaching atau mengajar dan material atau bahan. Dalam pedoman umum
pengembangan bahan ajar (Depdiknas, 2004). Bahan ajar adalah segala bentuk
bahan atau materi yang disusun secara sistematis yang digunakan untuk membantu
guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehingga tercipta
lingkungan atau suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Bahan tersebut
dapat berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis.
Bahan ajar atau secara garis besar
terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa
dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara
terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta,
konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
Termasuk jenis materi fakta adalah
nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang. Termasuk
materi konsep adalah pengertian, definisi, ciri khusus, komponen atau bagian
suatu obyek. Termasuk materi prinsip adalah dalil, rumus, postulat, teorema,
atau hubungan antar konsep yang menggambarkan hubungan sebab akibat. Materi
jenis prosedur adalah materi yang berkenaan dengan langkah- langkah secara
sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu tugas. Materi jenis sikap
(afektif) adalah materi yang berkenaan dengan sikap atau nilai, misalnya nilai
kejujuran, kasihsayang, tolong-menolong, semangat bekerja dan minat belajar.
Ditinjau dari pihak guru, bahan ajar itu harus diajarkan atau
disampaikan dalam kegiatan pembelajaran. Ditinjau dari pihak siswa bahan ajar
itu harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang akan dinilai dengan menggunakan instrumen penilaian yang
disusun berdasar indikator pencapaian belajar.
2.
Pendekatan
Konstruktivisme
Kontruktivis berarti bersifat
membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme merupakan suatu
aliran yang berupaya membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak
modern. Konstruktivisme berupaya membina suatu konsesus yang paling luas dan
mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia. (Jalaludin,
dalam Riyanto:143 ).
Pandangan klasik yang
selama ini berkembang adalah bahwa pengetahuan ini secara utuh dipindahkan dari
pikiran guru ke pikiran anak. Penelitian pendidikan sains pada tahun-tahun
terakhir telah mengungkapkan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran
seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh aliran konstruktivisme.
Tujuan pembelajaran
konstruktivisme ini ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan
pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata
yang mendorong si belajar untuk berpikir dan berpikir ulang lalu
mendemonstrasikan.
Dalam teori, peran
guru adalah menyediakan suasana, mendesain dan mengarahkan kegiatan belajar
bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan,
dengan bekerja memecahkan masalah,
menemukan segala sesuatu untuk dirinya,
dan berusaha dengan ide-ide yang
dimilikinya.
Sistem pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran lebih menekankan
pembelajaran top down daripada bottom up berarti siswa memulai dengan
masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan (dengan bimbingan
guru) keterampilan dasar yang diperlukan.
3.
Pendekatan
Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika
adalah sebuah proses pembelajaran yang menganggap pengetahuan matematika siswa
adalah serangkaian pengalaman siswa hasil bentukannya sendiri dengan
lingkungannya.
Menurut pandangan
konstruktivis bahwa pengetahuan harus diperoleh siswa melalui kegiatan atau
aktivitas, baik fisik maupun psikis. Melalui kegiatan atau aktivitas inilah
siswa membangun pengetahuannya sendiri. Guru bertindak sebatas penyedia sarana
belajar atau fasilitator, pembangkit dan pendorong minat belajar atau
motivator, atau perancang pembelajaran.
Ernest (1991:42), melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial
yang memenuhi tiga premis sebagai berikut.
1.
The basis
of mathematical knowledge is linguistic language, conventions and rulers, and
language is a social constructions.
2.
Interpersonal social processes are required to
turn an individual’s subjective mathematical knowledge, after publication, into
accepted objective mathematical knowledge.
3.
Objectivity
itself will be understood to be social.
Pengertian di atas
menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses
pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungan. Guru yang konstruktivis
mampu dan mengerti tentang proses pembelajaran yang baik. Dalam proses
pembelajaran yang baik, guru berperan memotivasi dan memfasilitasi siswanya menemukan sendiri cara yang paling
sesuai untuk memecahkan persoalan. Hal ini penting agar siswa memperoleh hasil
yang maksimal.
Mengajar bukanlah
kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan
yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan,
membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Menurut Hanafiah (2010), pendekatan konstruktivisme memiliki
karakteristik sebagai berikut.
a. Proses
pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga siswa mempunyai peluang untuk aktif
dalam proses pembelajaran.
b. Proses
pembelajaran merupakan proses integrasi pengetahuan baru dengan pengetahuan
lama yang dimiliki siswa.
c. Berbagai
pandangan yang berbeda diantara siswa dihargai dan sebagai tradisi dalam proses
pembelajaran.
d. Siswa
didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi.
e. Pembelajaran
berbasis masalah dalam rangka mendorong siswa dalam proses pencarian yang lebih
alami.
f.
Proses pembelajaran mendorong terjadinya
koperatif dan kompetitif dikalangan siswa secara aktif, kreatif, inovatif, dan
menyenangkan.
g. Proses
pembelajaran dilakukan secara kontektual, yaitu siswa dihadapkan kedalam
pengalaman nyata.
4.
Aktivitas
Siswa
Aktivitas dapat didefinisikan sebagai suatu situasi terjadinya sesuatu atau banyak
hal dapat dikerjakan. Pembelajaran matematika yang aktif di ruang kelas dapat
dipahami sebagai “melibatkan siswa melakukan sesuatu secara aktif berkaitan
dengan apa yang ingin dicapai dalam pembelajaran itu”.
Jenis aktivitas banyak sekali
macamnya, maka para ahli mengadakan klasifikasi atas macam-macam aktivitas
tersebut. Menurut Paul B. Diedrich dalam Hamalik (2008:172) indikator yang menyatakan
aktivitas siswa dalam belajar mengajar, yaitu:
a.
Kegiatan-kegiatan visual;
membaca, melihat gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati
orang lain bekerja atau bermain.
b.
Kegiatan-kegiatan lisan;
mengemukakan suatu prinsip atau fakta, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan
pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan
interupsi.
c.
Kegiatan-kegiatan mendengarkan;
mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok,
mendengarkan suatu permainan, mendengarkan radio.
d.
Kegiatan-kegiatan menulis;
menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, membuat rangkuman,
mengerjakan tes, mengisi angket.
e.
Kegiatan-kegiatan menggambar;
menggambar, membuat grafik, diagram peta, pola.
f.
Kegiatan-kegiatan metrik;
melakukan percobaan, memilih alat, melaksanakan pameran, membuat model,
menyelenggarakan permainan, menari, berkebun.
g.
Kegiatan-kegiatan mental;
merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, mengana-
lisis, melihat
hubungan-hubungan, membuat keputusan
h.
Kegiatan-kegiatan emosional;
minat, membedakan, tenang, berani.
Aktivitas yang dilakukan dalam
matematika antara lain: berhitung, bermain, menggambar, menjelaskan, mengukur,
mendesain, menempatkan obyek, menulis, diskusi, membuat kesimpulan, dan
sebagainya.
Adapun aktivitas yang diamati
pada penelitian ini meliputi :
a. Aktivitas menulis; Siswa menyelesaikan LKS, Siswa membuat rangkuman.
b. Aktivitas oral; Siswa menyatakan pendapat, Siswa menjawab pertanyaan.
c. Aktivitas mendengarkan; Siswa mendengarkan penjelasan dari guru, Siswa
mendengarkan penjelasan sesama teman.
d. Aktivitas mental; Siswa bekerja dalam kelompok, Siswa berdiskusi dengan teman.
e. Aktivitas emosi; Siswa menunjukkan sikap gembira dalam belajar, Siswa
antusiasme dalam melakukan aktivitas.
5. Bahan Ajar
Yang DiDesain melalui Pendekatan Konstruktivisme
Bahan ajar yang didesain adalah bahan ajar
yang berbentuk lembar kerja siswa (LKS). Setiap LKS terdiri dari empat aktivitas yang
mencerminkan karakteristik pendekatan konstruktivisme. Aktivitas pertama adalah
tahap pengaktifan pengetahuan prasyarat. Aktivitas kedua merupakan ajang
pengumpulan ide, dimana siswa melakukan diskusi dalam kelompoknuya. Aktivitas
ketiga adalah saat pemerolehan pengetahuan baru melalui presentasi
kelompok-kelompok terpilih, pertanyaan ataupun tanggapan dari kelompok-kelompok
yang lainnya. Aktivitas keempat adalah saatnya untuk memantapkan ide-ide baru
melalui pemberian soal-soal. Contoh LKS
(terlampir)
6. Deskripsi pelaksanaan pembelajaran pada LKS 2.
Siswa mengerjakan aktivitas 1 tanpa kesulitan
dan lebih bersemangat karena merasa mereka yang menemukan definisi turunan
tersebut. Pada aktivitas 2, setiap kelompok menyelesaikan satu kasus. Saat
pelaksanaan, aktivitas yang terlihat sudah lebih banyak dibanding pada saat
pelaksanaan LKS 1. Hampir semua siswa terlibat dalam diskusi
kelompoknya. Pada aktivitas 3, saat siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
terlihat sudah semakin mantap dan yang
menanggapi pun semakin banyak. Sehingga diperoleh satu kesimpulan tentang rumus
turunan fungsi aljabar. Pada aktivitas 4, semua siswa dapat menyelesaikan soal
dengan baik tanpa kesulitan sama sekali. Pada saat refleksi, terlihat siswa
semakin termotivasi dan semakin terbiasa dengan proses pembelajaran
konstruktivisme. Mereka sudah dapat merasakan manfaat dari belajar berkelompok,
mempresentasikan materi, ataupun adu argumentasi.
7.
Refleksi
Pada saat refleksi di akhir
pembelajaran, siswa diminta memberi tanggapan tentang penggunaan LKS
konstruktivisme. Tanggapan diberikan secara tertulis maupun lisan. Tanggapan
tertulis dilakukan oleh semua siswa, namun untuk tanggapan yang langsung hanya beberapa
siswa saja karena keterbatasan waktu. Yang patut di catat hampir semuanya memberikan
tanggapan yang positif. Mereka menginginkan pembelajaran matematika menggunakan
LKS konstruktivisme karena mempermudah siswa dalam belajar, menjadikan siswa
lebih kreatif, membangun kebersamaan, serta berpikir bahwa matematika adalah
pelajaran yang sungguh-sungguh menarik dan indah. LKS konstruktivisme
menekankan pada proses, bukan hanya hasil akhir semata, siswa tidak hanya
diminta menjawab soal tapi diminta mengemukakan alasan sehingga dapat melatih
siswa menggunakan penalaran logisnya. Banyak siswa yang berharap LKS
konstruktivisme ini dipakai di sekolah agar matematika menjadi tidak sesulit
yang dibayangkan. Bahkan mereka berharap LKS konstruktivisme seperti ini dapat
digunakan untuk mata pelajaran yang lain juga.
Tetapi yang perlu dicatat ada saran yang menarik, yaitu agar menambahkan
soal-soal yang lebih variatif lagi, misalnya soal tipe olimpiade dan
presentasinya menggunakan power point
agar lebih menarik. Dan pada saat pembagian kelompok harus lebih selektif lagi
agar kelompoknya menjadi lebih baik. Kalau perlu setelah beberapa pertemuan,
dibentuk lagi kelompok dengan formasi yang baru.
C.
PENUTUP
1. KESIMPULAN
LKS
turunan fungsi yang didesain berdasarkan pendekatan konstruktivisme:
a. Dapat digunakan
untuk membiasakan siswa beraktivitas pada saat pembelajaran matematika.
b.
Dapat mempermudah siswa dalam belajar, karena
ada langkah-langkah yang membimbing siswa menemukan konsep ataupun rumus yang
menjadi tujuan.
2. SARAN
Seorang guru diharapkan :
a. Dapat
mendesain sendiri bahan ajar yang akan digunakan, agar pembelajaran menjadi
efektif dan efisien.
b. Berani
mencoba berbagai pendekatan dalam mendesain bahan ajar ataupun melaksanakan
proses pembelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan, (2006). Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan
Tingkat Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, Jakarta: PT. Binatama
Raya
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London : Falmer.
Hamalik,
Oemar.2008. Proses Belajar Mengajar.
Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafiah,
Nanang. 2010. Konsep Strategi
Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama.
Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Sebagai Referensi Bagi
Pendidik Dalam Implementasi
Pembelajaran Yang Efektif Dan Berkualitas.
Cet. 2. Jakarta: Kencana Prenada.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat
Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Jakarta : Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar