Rabu, 04 Januari 2012

KONSTRUKTIVISME

Pendekatan Konstruktivisme
       Kontruktivis berarti bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme merupakan suatu aliran yang berupaya membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Menurut Jalaludin (dikutip  Riyanto. 2010:143 ), konstruktivisme berupaya membina suatu konsesus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
       Pendekatan Konstruktivistik menurut Suyitno (2011:7), dalam pembelajaran, siswa mendapatkan pengalaman belajarnya sendiri dan benar-benar memahami pengalaman belajar tersebut.
       Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita dikonstruksi  oleh kita sendiri. Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glasserfeld (dikutip  Suparno, 1997) diperlukan beberapa kemampuan berikut.
v  Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman.
v  Kemampuan membandingkan, mengambil keputusan (justifikasi) mengenai  persamaan dan perbedaan.
v  Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain.            
        Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu tidak dapat ditransmisi langsung oleh guru ke dalam pikiran siswa, melainkan proses perubahan ini memerlukan konstruksi aktif siswa. Menurut Driver, dan Bell ( dikutip Suparno, 1997) untuk mengkonstruksi makna baru, siswa harus mempunyai pengalaman mengadakan kegiatan mengamati, menebak, berbuat dan mencoba bahkan mampu menjawab pertanyaan  ”mengapa”. Ahli konstruktivisme juga beranggapan bahwa pengetahuan itu diserap oleh siswa tidak secara pasif dari lingkungan, melainkan ilmu pengetahuan dibangun oleh siswa secara individual. Pengetahuan tersebut dibangun oleh siswa melalui tiga aktifitas dasar yaitu keterlibatan siswa tersebut secara aktif, refleksi, dan abstraksi.
.   Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 2006) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa pengetahuan  tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,  sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Menurut Piaget, pengetahuan sosial seperti nama binatang, nama hari, nama kota, dapat ditransfer dari pikiran guru ke pikiran siswa. Namun, pengetahuan fisik dan pengetahuan logika-matematika tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Setiap siswa harus membangun sendiri pengetahuan-pengetahuan itu melalui proses equilibrasi. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno,1997).
Dalam penelitian ini peneliti akan mengembangkan bahan ajar matematika yang  mengacu  pada konstruktivisme psikologis personal (Piaget) dan kontruktivisme psikologis sosial (Vygotsky). Hal ini sesuai dengan pendapat Cobb (dikutip Suparno, 1997) yang lebih cenderung mengkombinasikan kedua pandangan konstruktivisme psikologis personal menurut Piaget dan konstruktivisme psikologis sosial menurut Vygotsky. Alasan peneliti karena keduanya saling melengkapi, yakni belajar matematika dipandang baik sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan oleh individu secara aktif maupun sebagai proses interaksi sosial yaitu anak belajar secara kooperatif. Oleh karena itu bahan ajar menggunakan pendekatan konstruktivisme yang dikembangkan dalam penelitian ini, anak difasilitasi untuk belajar matematika secara individu, kemudian dilanjutkan secara kooperatif.
Prinsip dan Ciri-Ciri Pembelajaran Konstruktivisme 
       Suparno (1997) mengemukakan prisip-prinsip belajar konstruktivisme, antara lain:
v  Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.
v  Penekanan dalam proses belajar terletak pada siswa.
v  Mengajar adalah membantu siswa belajar.
v  Penekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir.
v  Kurikulum menekankan partisipasi siswa.
v  Guru adalah fasilitator.
Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahapan perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Belajar berdasarkan konstruktivisme adalah berusaha untuk melihat dan memperhatikan konsepsi dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru pada pembelajaran ini berperan sebagai moderator dan fasilitator. Suparno (1997) menjabarkan beberapa tugas guru tersebut sebagai berikut.
v  Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
v  Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif. Guru harus menyemangati siswa.
v  Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
       Oleh karena itu guru konstruktivis perlu mengerti sifat kesalahan siswa, sebab perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Ini adalah bagian dari konstruksi semua bidang pengetahuan yang tidak bisa dihindarkan.
Pembelajaran  Matematika dengan Teori Belajar Konstruktivisme  
       Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Ernest (1991:42), melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial yang memenuhi tiga premis sebagai berikut :
(i) The basis of mathematical knowledge is linguistic language, conventions and rulers, and language is a social constructions; (ii) Interpersonal social processes are required to turn an individual’s subjective mathematical knowledge, after publication, into accepted objective mathematical knowledge; and (iii) Objectivity itself will be understood to be social.
         Pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungan. Guru yang konstruktivis  mampu dan mengerti tentang proses pembelajaran yang baik. Dalam proses pembelajaran yang baik, guru berperan memotivasi dan memfasilitasi  siswanya menemukan sendiri cara yang paling sesuai untuk memecahkan persoalan. Hal ini penting agar siswa memperoleh hasil yang maksimal.
         Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
Menurut Driver & Oldam (Suparno, 1997) langkah pembelajaran   konstruktivisme yang dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.      Orientasi. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu pokok bahasan, kemudian siswa diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap apa yang akan dipelajari.
2.      Elicitasi. Siswa dibantu mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lainnya. Artinya siswa diberi kesempatan untuk mediskusikan apa yang diobservasikan dalam bentuk tulisan, gambar atau poster.
3.      Re-strukturisasi ide.
                                     a.            Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman melalui diskusi atau melalui pengumpulan ide. Artinya melalui diskusi atau pengumpulan ide, siswa merekonstruksi gagasan-gagasan yang tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bahwa gagasan tersebut cocok.
                                     b.            Membangun ide yang baru.
                                     c.            Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen.
4.      Penggunaan ide dalam banyak situasi.  Pengetahuan atau ide yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam pada situasi yang dihadapi, agar dapat membuat pengetahuan siswa lebih lengkap dan lebih rinci dengan segala pengecualiannya.
5.      Review, bagaimana bila ide itu berubah. Hal ini dapat terjadi apabila dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari seseorang perlu merevisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar