Senin, 14 Mei 2012

Bahan Ajar Turunan Fungsi yang di Desain Melalui pendekatan Konstruktivisme Dapat Melatih Aktivitas Siswa di Kelas



              A.    PENDAHULUAN
        Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma dalam pembelajaran, desain pembelajaran juga mengalami perubahan orientasi. Pembelajaran yang dulu berpusat kepada guru (teacher centred), sekarang telah berubah ke pembelajaran yang berpusat  kepada siswa (student centred).  Aktivitas pembelajaran, yang pada masa sebelumnya diwarnai pendekatan behaviorisme, kini mulai menggunakan pendekatan konstruktivisme.

        Pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada perilaku yang dapat diamati dan dapat diukur sebagai hasil aktivitas dan proses pembelajaran. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu tidak dapat ditransmisi langsung oleh guru ke dalam pikiran siswa, melainkan proses perubahan yang memerlukan konstruksi aktif siswa. Menurut Driver, dan Bell (Suparno, 1997) untuk mengkonstruksi makna baru, siswa harus mempunyai pengalaman mengadakan kegiatan mengamati, menebak, berbuat dan mencoba bahkan mampu menjawab pertanyaan  ”mengapa”. Ahli konstruktivisme juga beranggapan bahwa pengetahuan itu  di serap oleh siswa tidak secara pasif dari lingkungan, melainkan ilmu pengetahuan dibangun oleh siswa secara individual. Pembangunan pengetahuan tersebut melalui tiga aktivitas dasar yaitu keterlibatan siswa tersebut secara aktif, refleksi, dan abstraksi.
       Turunan Fungsi adalah salah satu materi matematika SMA yang diberikan di kelas sebelas. Turunan Fungsi merupakan materi penting sebagai prasyarat untuk belajar integral di kelas dua belas. Berdasarkan pengalaman peneliti dan beberapa guru matematika yang lain, salah satu kesulitan mengajar materi integral adalah karena kurang maksimalnya proses pembelajaran pada materi turunan fungsi.
       Untuk itu menurut peneliti, pembelajaran turunan fungsi dapat maksimal jika siswa difasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini dimungkinkan karena siswa telah mempelajari materi tentang fungsi, rumus-rumus trigonometri dan limit fungsi yang dapat menghantarkan siswa kepada materi turunan fungsi. Dengan membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa akan lebih ingat, lebih paham dan pembelajaran akan lebih bermakna.
    
B. PEMBAHASAN
1.       Hakikat Bahan Ajar
       Bahan ajar (teaching material), terdiri atas dua kata yaitu teaching atau mengajar dan material atau bahan. Dalam pedoman umum pengembangan bahan ajar (Depdiknas, 2004). Bahan ajar adalah segala bentuk bahan atau materi yang disusun secara sistematis yang digunakan untuk membantu guru/ instruktur dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Bahan tersebut dapat berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis.
       Bahan ajar atau secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.
      Termasuk jenis materi fakta adalah nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang. Termasuk materi konsep adalah pengertian, definisi, ciri khusus, komponen atau bagian suatu obyek. Termasuk materi prinsip adalah dalil, rumus, postulat, teorema, atau hubungan antar konsep yang menggambarkan hubungan sebab akibat. Materi jenis prosedur adalah materi yang berkenaan dengan langkah- langkah secara sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu tugas. Materi jenis sikap (afektif) adalah materi yang berkenaan dengan sikap atau nilai, misalnya nilai kejujuran, kasihsayang, tolong-menolong, semangat bekerja dan minat belajar.
       Ditinjau dari pihak guru, bahan ajar itu harus diajarkan atau disampaikan dalam kegiatan pembelajaran. Ditinjau dari pihak siswa bahan ajar itu harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan dinilai dengan menggunakan instrumen penilaian yang disusun berdasar indikator pencapaian belajar.
2.       Pendekatan Konstruktivisme
       Kontruktivis berarti bersifat membangun. Dalam konteks filsafat pendidikan, konstruktivisme merupakan suatu aliran yang berupaya membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Konstruktivisme berupaya membina suatu konsesus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia. (Jalaludin, dalam Riyanto:143 ).
       Pandangan klasik yang selama ini berkembang adalah bahwa pengetahuan ini secara utuh dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran anak. Penelitian pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh aliran  konstruktivisme.
       Tujuan pembelajaran konstruktivisme ini ditentukan pada bagaimana belajar, yaitu menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong si belajar untuk berpikir dan berpikir ulang lalu mendemonstrasikan.
       Dalam teori, peran guru adalah menyediakan suasana, mendesain dan mengarahkan kegiatan belajar bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, dengan  bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya,  dan  berusaha dengan ide-ide yang dimilikinya.
      Sistem pendekatan konstruktivisme  dalam pembelajaran lebih menekankan pembelajaran top down daripada bottom up berarti siswa memulai dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan dasar yang diperlukan.
3.       Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
       Pendekatan  konstruktivisme dalam pembelajaran matematika adalah sebuah proses pembelajaran yang menganggap pengetahuan matematika siswa adalah serangkaian pengalaman siswa hasil bentukannya sendiri dengan lingkungannya.
       Menurut pandangan konstruktivis bahwa pengetahuan harus diperoleh siswa melalui kegiatan atau aktivitas, baik fisik maupun psikis. Melalui kegiatan atau aktivitas inilah siswa membangun pengetahuannya sendiri. Guru bertindak sebatas penyedia sarana belajar atau fasilitator, pembangkit dan pendorong minat belajar atau motivator, atau perancang pembelajaran.
       Ernest (1991:42), melihat matematika sebagai suatu konstruktivisme sosial yang memenuhi tiga premis sebagai berikut.
1.       The basis of mathematical knowledge is linguistic language, conventions and rulers, and language is a social constructions.
2.        Interpersonal social processes are required to turn an individual’s subjective mathematical knowledge, after publication, into accepted objective mathematical knowledge.
3.       Objectivity itself will be understood to be social.
         Pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungan. Guru yang konstruktivis  mampu dan mengerti tentang proses pembelajaran yang baik. Dalam proses pembelajaran yang baik, guru berperan memotivasi dan memfasilitasi  siswanya menemukan sendiri cara yang paling sesuai untuk memecahkan persoalan. Hal ini penting agar siswa memperoleh hasil yang maksimal.
         Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.
        Menurut Hanafiah (2010), pendekatan konstruktivisme memiliki karakteristik sebagai berikut.
a.       Proses pembelajaran berpusat pada siswa, sehingga siswa mempunyai peluang untuk aktif dalam proses pembelajaran.
b.      Proses pembelajaran merupakan proses integrasi pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang dimiliki siswa.
c.       Berbagai pandangan yang berbeda diantara siswa dihargai dan sebagai tradisi dalam proses pembelajaran.
d.      Siswa didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan dan mensintesiskan secara terintegrasi.
e.      Pembelajaran berbasis masalah dalam rangka mendorong siswa dalam proses pencarian yang lebih alami.
f.        Proses pembelajaran mendorong terjadinya koperatif dan kompetitif dikalangan siswa secara aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan.
g.       Proses pembelajaran dilakukan secara kontektual, yaitu siswa dihadapkan kedalam pengalaman nyata.    

 
4.         Aktivitas Siswa
       Aktivitas dapat didefinisikan sebagai suatu situasi terjadinya sesuatu atau banyak hal dapat dikerjakan. Pembelajaran matematika yang aktif di ruang kelas dapat dipahami sebagai “melibatkan siswa melakukan sesuatu secara aktif berkaitan dengan apa yang ingin dicapai dalam pembelajaran itu”.
       Jenis aktivitas banyak sekali macamnya, maka para ahli mengadakan klasifikasi atas macam-macam aktivitas tersebut. Menurut Paul B. Diedrich dalam Hamalik (2008:172) indikator yang menyatakan aktivitas siswa dalam belajar mengajar, yaitu:
a.       Kegiatan-kegiatan visual; membaca, melihat gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.
b.      Kegiatan-kegiatan lisan; mengemukakan suatu prinsip atau fakta, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi.
c.       Kegiatan-kegiatan mendengarkan; mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, mendengarkan radio.
d.      Kegiatan-kegiatan menulis; menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, membuat rangkuman, mengerjakan tes, mengisi angket.
e.      Kegiatan-kegiatan menggambar; menggambar, membuat grafik, diagram peta, pola.
f.        Kegiatan-kegiatan metrik; melakukan percobaan, memilih alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari, berkebun.
g.       Kegiatan-kegiatan mental; merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, mengana-
lisis, melihat hubungan-hubungan, membuat keputusan
h.      Kegiatan-kegiatan emosional; minat, membedakan, tenang, berani.
       Aktivitas yang dilakukan dalam matematika antara lain: berhitung, bermain, menggambar, menjelaskan, mengukur, mendesain, menempatkan obyek, menulis, diskusi, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
       Adapun aktivitas yang diamati pada penelitian ini meliputi :
a.       Aktivitas menulis; Siswa menyelesaikan LKS, Siswa membuat rangkuman.
b.      Aktivitas oral; Siswa menyatakan pendapat, Siswa menjawab pertanyaan.
c.       Aktivitas mendengarkan; Siswa mendengarkan penjelasan dari guru, Siswa mendengarkan penjelasan sesama teman.
d.      Aktivitas mental; Siswa bekerja dalam kelompok, Siswa berdiskusi  dengan teman.
e.      Aktivitas emosi; Siswa menunjukkan sikap gembira dalam belajar, Siswa antusiasme dalam melakukan aktivitas.

5.      Bahan Ajar  Yang DiDesain melalui Pendekatan Konstruktivisme
          Bahan ajar yang didesain adalah bahan ajar yang berbentuk lembar kerja siswa (LKS).  Setiap LKS terdiri dari empat aktivitas yang mencerminkan karakteristik pendekatan konstruktivisme. Aktivitas pertama adalah tahap pengaktifan pengetahuan prasyarat. Aktivitas kedua merupakan ajang pengumpulan ide, dimana siswa melakukan diskusi dalam kelompoknuya. Aktivitas ketiga adalah saat pemerolehan pengetahuan baru melalui presentasi kelompok-kelompok terpilih, pertanyaan ataupun tanggapan dari kelompok-kelompok yang lainnya. Aktivitas keempat adalah saatnya untuk memantapkan ide-ide baru melalui pemberian soal-soal.  Contoh LKS (terlampir)
6.      Deskripsi pelaksanaan pembelajaran pada LKS 2.
         Siswa mengerjakan aktivitas 1 tanpa kesulitan dan lebih bersemangat karena merasa mereka yang menemukan definisi turunan tersebut. Pada aktivitas 2, setiap kelompok menyelesaikan satu kasus. Saat pelaksanaan, aktivitas yang terlihat sudah lebih banyak dibanding pada saat pelaksanaan  LKS 1. Hampir  semua siswa terlibat dalam diskusi kelompoknya. Pada aktivitas 3, saat siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya terlihat  sudah semakin mantap dan yang menanggapi pun semakin banyak. Sehingga diperoleh satu kesimpulan tentang rumus turunan fungsi aljabar. Pada aktivitas 4, semua siswa dapat menyelesaikan soal dengan baik tanpa kesulitan sama sekali. Pada saat refleksi, terlihat siswa semakin termotivasi dan semakin terbiasa dengan proses pembelajaran konstruktivisme. Mereka sudah dapat merasakan manfaat dari belajar berkelompok, mempresentasikan materi, ataupun adu argumentasi.

7.         Refleksi
         Pada saat refleksi di akhir pembelajaran, siswa diminta memberi tanggapan tentang penggunaan LKS konstruktivisme. Tanggapan diberikan secara tertulis maupun lisan. Tanggapan tertulis dilakukan oleh semua siswa, namun untuk tanggapan yang langsung hanya beberapa siswa saja karena keterbatasan waktu. Yang patut di catat hampir semuanya memberikan tanggapan yang positif. Mereka menginginkan pembelajaran matematika menggunakan LKS konstruktivisme karena mempermudah siswa dalam belajar, menjadikan siswa lebih kreatif, membangun kebersamaan, serta berpikir bahwa matematika adalah pelajaran yang sungguh-sungguh menarik dan indah. LKS konstruktivisme menekankan pada proses, bukan hanya hasil akhir semata, siswa tidak hanya diminta menjawab soal tapi diminta mengemukakan alasan sehingga dapat melatih siswa menggunakan penalaran logisnya. Banyak siswa yang berharap LKS konstruktivisme ini dipakai di sekolah agar matematika menjadi tidak sesulit yang dibayangkan. Bahkan mereka berharap LKS konstruktivisme seperti ini dapat digunakan untuk mata pelajaran yang lain juga.
       Tetapi yang perlu dicatat ada saran yang menarik, yaitu agar menambahkan soal-soal yang lebih variatif lagi, misalnya soal tipe olimpiade dan presentasinya menggunakan power point agar lebih menarik. Dan pada saat pembagian kelompok harus lebih selektif lagi agar kelompoknya menjadi lebih baik. Kalau perlu setelah beberapa pertemuan, dibentuk lagi kelompok dengan formasi yang baru.

C. PENUTUP
1.       KESIMPULAN
 LKS  turunan fungsi yang didesain berdasarkan pendekatan konstruktivisme:
a. Dapat digunakan untuk membiasakan siswa beraktivitas pada saat pembelajaran matematika.
b.    Dapat mempermudah siswa dalam belajar, karena ada langkah-langkah yang membimbing siswa menemukan konsep ataupun rumus yang menjadi tujuan.
2.       SARAN
Seorang  guru diharapkan :
a.       Dapat mendesain sendiri bahan ajar yang akan digunakan, agar pembelajaran menjadi efektif dan efisien.
b.      Berani mencoba berbagai pendekatan dalam mendesain bahan ajar ataupun melaksanakan proses  pembelajaran.
DAFTAR  PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan, (2006). Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Tingkat Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah, Jakarta: PT. Binatama Raya
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education. London : Falmer.
Hamalik, Oemar.2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta:  Bumi Aksara.
Hanafiah, Nanang. 2010. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: Refika Aditama.
Riyanto, Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Sebagai Referensi Bagi
          Pendidik Dalam Implementasi Pembelajaran Yang Efektif Dan Berkualitas.
          Cet. 2. Jakarta: Kencana Prenada.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Jakarta : Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar